Jumat, 25 Agustus 2017

Mbhinneka lewat budaya Jawa



Andi Suryadi
Universitas Sanata Dharma

 Tuna satak, bathi sanak” adalah suatu istilah masyarakat Jawa yang memiliki arti “biar rugi sedikit, yang penting jadi saudara”. Umumnya, istilah tersebut digunakan oleh seorang pedagang keliling yang dagangannya masih tersisa sedikit, agar dagangan tersebut habis terjual, maka ia menjual dengan harga murah dibandingkan harus rugi karena tidak terjual sama sekali. Setelah terjadi tawar-menawar, pedagang pun bersedia menjual dagangannya dengan harga yang lebih  murah asalkan pelanggannya membeli semua dagangan yang tersisa. Biasanya, setelah itu akan terjadi suasana keakraban disertai dengan perbincangan hangat antara pedagang dan pembeli tentang hal-hal pribadi masing-masing, antara lain  mengenai tempat anak bersekolah dan pekerjaan suami/istri yang menggambarkan suatu keakraban hubungan yang seolah-olah telah lama terjalin diantara keduanya.
Dalam pandangan tradisi masyarakat Jawa di Yogyakarta pada zaman dulu, aktivitas ekonomi melalui perdagangan tidak hanya sebatas proses transaksi jual-beli, namun terlebih sebagai bagian dari ritme kehidupan. Interaksi yang terjalin harus menggambarkan suatu harmonisasi dalam masyarakat yang dikenal sopan dan ramah ini. Penjual dan pembeli akan saling mengikat, bukan karena seorang pedagang takut untuk tidak mendapatkan keuntungan atau pun pembeli tidak mendapat barang yang diinginkan, melainkan karena rasa takut tidak akan terjalin hubungan baik lagi antar kedua belah pihak. Semangat untuk menciptakan harmonisasi interaksi antar-individu terus berkembang, sehingga menjadikan hubungan pedagang dan penjual semakin erat tanpa harus mempermasalahkan latar belakang masing-masing. Semangat ini lah yang terus dihidupi oleh masyarakat Jawa dalam keseharian, terutama saat melakukan interaksi aktivitas ekonomi dalam masyarakat.
Seiring perkembangan zaman, istilah “tuna satak, bathi sanak” perlahan-lahan mulai luntur dan seolah trkubur didasar laut atlantik, sudah sangat jarang sekali terdengar, tidak lagi digunakan dalam keseharian masyarakat di Yogyakarta. Inter-generasi saat ini, yaitu kalangan mahasiswa dan pelajar bahkan benar-benar buta akan istilah “tuna satak, bathi sanak” dan menjadi begitu sangat asing ditelinga mereka. Wajar jika dikatakan kemajemukkan dan perkembangan tatanan masyarakat tanpa sadar telah mengubah makna istilah “tuna satak, bathi sanak” menjadi “biar tidak menjadi saudara, asalkan bisa mendapatkan keuntungan”. Orang berlomba-lomba mencari keuntungan dengan mengabaikan sesamanya, kesejahteraan pribadi adalah tujuan utama dalam melakukan kegiatan ekonomi. Secara perlahan kebiasaan-kebiasaan atau perilaku seperti inilah yang menjadi akar dari intoleransi, pertikaian atau konflik dan perpecahan dalam masyarakat yang kita kenal sebagai permasalahan kebhinekaan. Sebab, tiap-tiap individu lupa bahwa manusia merupakan dari anak Adam dan Hawa yang memiliki hak serta kewajiban setara dengan manusia lainnya. Masing-masing orang memiliki hak untuk hidup layak, aman, damai, bebas untuk menentukan yang baik bagi dirinya dengan pertimbangan dampak baik dan tidak mengganggu hak orang lain sesuai dengan moral yang berlaku didalam masyarakat.
Masalah kebhinekaan sebenarnya lahir dari hal-hal sederhana dalam tatanan struktur sosial yang semakin hari terus mengalami perubahan, sehingga mengangkat masalah perbedaan latarbelakang, persepsi, budaya dan tradisi ke permukaan arus kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, jika seorang wisatawan baik domestik maupun mancanegara berkunjung ke Yogyakarta, biasanya para wisatawan akan membeli buah tangan, seringkali ditemui beberapa oknum pedagang cenderung akan mematok harga diatas rata-rata dibandingkan ketika harus menjual pada warga lokal. Hal ini bisa terjadi karena adanya peluang dan kesempatan, oknum pedagang melihat latarbelakang yang berbeda, sehingga pelanggannya tidak akan mengetahui jika harga yang ditawarkan dibawah pasaran rata-rata dan pedagang tersebut memperoleh keuntungan yang lebih. Dalam kasus lain, misalnya sekarang di Yogyakarta banyak sekali kos-kosan yang tidak menerima non-muslim dan oknum-oknum intoleran yang gencar untuk melakukan diskriminasi serta mengusik rumah-rumah ibadah tertentu. Begitu pula permasalahan pilkada di Jakarta yang ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu, kemudian mengaitkannya dengan agama, ras, suku serta kebudayaan sehingga mempengaruhi berbagai daerah lainnya. Sederhananya, beberapa contoh permasalahan tersebut memiliki pola yang sama, yakni terlepas dari ritme kehidupan semangat untuk menciptakan suasana persaudaraan dalam suatu kemajemukkan. Semangat untuk hidup berdampingan sebagai saudara tergeser karena orang-orang terlalu fokus pada perbedaan dan melihatnya sebagai masalah. Keuntungan pribadi maupun golongan atau yang lebih sering dikenal dengan perilaku oportunistik  menjadi dorongan dasar seseorang untuk melakukan interaksi dengan orang lain.Orang-orang lupa untuk menganggap sekitarnya sebagai saudara, namun cenderung menganggap orang lain sebagai kompetitornya.
Yogyakarta merupakan kota yang terkenal sopan dan ramah dengan segala adat serta kebudayaannya yang sangat kental. Kota ikonik yang menjadi pusat pendidikan dan juga merupakan destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan mancanegara maupun domestik. Tentunya segala sesuatu yang ada didalam tatanan sosial masyarakat Yogyakarta akan menjadi pusat perhatian bagi banyak orang. Perilaku dan sikap masyarakat di Yogyakarta harus mampu memenuhi tuntutan sosial sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang ramah dan sopan serta paling toleran. Dengan begitu siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta akan membawa sesuatu yang melekat dalam dirinya, yakni sikap dan perlakuan yang diterimanya setelah kembali ke daerah asalnya. Oleh karenanya, menjadi sangat untuk menciptakan fondasi kebhinekaan yang dapat memenuhi tuntutan sosial tersebut. Memang terdengar sangat mustahil jika dengan menghidupi kembali istilah sederhana “Tuna satak bathi sanak” dapat menjadi solusi dari masalah multikultural yang mulai bermunculan di Yogyakarta. Namun, perlu dimaknai bahwa istilah ini bukan hanya sekedar ungkapan seorang pedagang belaka, melaikan semangat menciptakan relasi atau hubungan yang baik dalam keseharian  dan juga sebagai bagian dari ritme kehidupan struktur masyarakat Yogyakarta yang sangat kompleks dengan segala keberagamannya. Ketika seseorang menganggap orang lain sebagai saudara, maka perbedaan latarbelakang, budaya, ras, suku dan agama tidak akan menjadi penghalang yang berarti dalam interaksi sosial.

Semangat persaudaraan “tuna satak, bathi sanak” ini kiranya menjadi motor penggerak sikap dan perilaku dalam bertindak dalam masyarakat. Seluruh lapisan struktur masyarakat di Yogyakarta harus benar-benar memahami makna istilah ini secara komprehensif, baik orang-orang dewasa, maupun muda dituntut mampu mencerminkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Masalah perbedaan tidak akan dilihat sebagai sebuah perbedaan jika setiap orang saling mengikat dalam hubungan persaudaraan. Ketika setiap orang telah terikat dalam hubungan persaudaraan, maka kebhinekaan yang sesungguhnya sedang dibangun dari dalam diri masing-masing orang tersebut. Tidak akan ada konflik atau perpecahan, tetapi orang akan saling mengasihi, menghargai dan menjaga satu sama lain sebagai seorang saudara.
Sikap hidup seperti ini tentunya akan mati apabila tidak ada yang berusaha menghidupkannya. Tiga atau lima tahun lagi semangat ini akan benar-benar mati dan seolah-olah tidak pernah ada dalam tradisi masyarakat Jawa. Tongkat estafet harus diberikan kepada orang-orang yang masih mampu dan kuat untuk berlari membawanya. Semangat persaudaraan yang terkandung dalam istilah “tuna satak, bathi sanak” harus terus hidup didalam diri orang-orang yang secara khusus berdomisili di Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta adalah cerminan keberagaman Indonesia, terdapat berbagai latarbelakang ras, suku kebudayaan, dan agama yang akan selalu berinteraksi setiap harinya. Daerah lain akan melihat bahwa Yogyakarta adalah cerminan kebhinekaan, karena tidak ada lagi orang yang melihat perbedaan sebagai suatu masalah melainkan keunikan dan kemajemukkan dalam ikatan persaudaraan yang berlandaskan prinsip sederhana, yakni mementingkan persaudaraan daripada sebuah keuntungan pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar