Andi Suryadi
Universitas Sanata Dharma
“Tuna satak, bathi sanak” adalah suatu
istilah masyarakat Jawa yang memiliki arti “biar rugi sedikit, yang penting
jadi saudara”. Umumnya, istilah tersebut digunakan oleh seorang pedagang
keliling yang dagangannya masih tersisa sedikit, agar dagangan tersebut habis
terjual, maka ia menjual dengan harga murah dibandingkan harus rugi karena
tidak terjual sama sekali. Setelah terjadi tawar-menawar, pedagang pun bersedia
menjual dagangannya dengan harga yang lebih murah asalkan pelanggannya membeli semua
dagangan yang tersisa. Biasanya, setelah itu akan terjadi suasana keakraban
disertai dengan perbincangan hangat antara pedagang dan pembeli tentang hal-hal
pribadi masing-masing, antara lain
mengenai tempat anak bersekolah dan pekerjaan suami/istri yang
menggambarkan suatu keakraban hubungan yang seolah-olah telah lama terjalin
diantara keduanya.
Dalam pandangan tradisi masyarakat Jawa di
Yogyakarta pada zaman dulu, aktivitas ekonomi melalui perdagangan tidak hanya
sebatas proses transaksi jual-beli, namun terlebih sebagai bagian dari ritme
kehidupan. Interaksi yang terjalin harus menggambarkan suatu harmonisasi dalam
masyarakat yang dikenal sopan dan ramah ini. Penjual dan pembeli akan saling
mengikat, bukan karena seorang pedagang takut untuk tidak mendapatkan
keuntungan atau pun pembeli tidak mendapat barang yang diinginkan, melainkan karena
rasa takut tidak akan terjalin hubungan baik lagi antar kedua belah pihak.
Semangat untuk menciptakan harmonisasi interaksi antar-individu terus
berkembang, sehingga menjadikan hubungan pedagang dan penjual semakin erat
tanpa harus mempermasalahkan latar belakang masing-masing. Semangat ini lah
yang terus dihidupi oleh masyarakat Jawa dalam keseharian, terutama saat
melakukan interaksi aktivitas ekonomi dalam masyarakat.
Seiring perkembangan zaman, istilah “tuna satak,
bathi sanak” perlahan-lahan mulai luntur dan seolah trkubur didasar laut
atlantik, sudah sangat jarang sekali terdengar, tidak lagi digunakan dalam
keseharian masyarakat di Yogyakarta. Inter-generasi saat ini, yaitu kalangan
mahasiswa dan pelajar bahkan benar-benar buta akan istilah “tuna satak, bathi
sanak” dan menjadi begitu sangat asing ditelinga mereka. Wajar jika dikatakan
kemajemukkan dan perkembangan tatanan masyarakat tanpa sadar telah mengubah makna
istilah “tuna satak, bathi sanak” menjadi “biar tidak menjadi saudara, asalkan bisa
mendapatkan keuntungan”. Orang berlomba-lomba mencari keuntungan dengan
mengabaikan sesamanya, kesejahteraan pribadi adalah tujuan utama dalam
melakukan kegiatan ekonomi. Secara perlahan kebiasaan-kebiasaan atau perilaku
seperti inilah yang menjadi akar dari intoleransi, pertikaian atau konflik dan
perpecahan dalam masyarakat yang kita kenal sebagai permasalahan kebhinekaan. Sebab,
tiap-tiap individu lupa bahwa manusia merupakan dari anak Adam dan Hawa yang
memiliki hak serta kewajiban setara dengan manusia lainnya. Masing-masing orang
memiliki hak untuk hidup layak, aman, damai, bebas untuk menentukan yang baik
bagi dirinya dengan pertimbangan dampak baik dan tidak mengganggu hak orang
lain sesuai dengan moral yang berlaku didalam masyarakat.
Masalah kebhinekaan sebenarnya lahir dari hal-hal
sederhana dalam tatanan struktur sosial yang semakin hari terus mengalami
perubahan, sehingga mengangkat masalah perbedaan latarbelakang, persepsi,
budaya dan tradisi ke permukaan arus kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, jika
seorang wisatawan baik domestik maupun mancanegara berkunjung ke Yogyakarta,
biasanya para wisatawan akan membeli buah tangan, seringkali ditemui beberapa
oknum pedagang cenderung akan mematok harga diatas rata-rata dibandingkan
ketika harus menjual pada warga lokal. Hal ini bisa terjadi karena adanya
peluang dan kesempatan, oknum pedagang melihat latarbelakang yang berbeda,
sehingga pelanggannya tidak akan mengetahui jika harga yang ditawarkan dibawah
pasaran rata-rata dan pedagang tersebut memperoleh keuntungan yang lebih. Dalam
kasus lain, misalnya sekarang di Yogyakarta banyak sekali kos-kosan yang tidak
menerima non-muslim dan oknum-oknum intoleran yang gencar untuk melakukan
diskriminasi serta mengusik rumah-rumah ibadah tertentu. Begitu pula
permasalahan pilkada di Jakarta yang ditunggangi kepentingan-kepentingan
tertentu, kemudian mengaitkannya dengan agama, ras, suku serta kebudayaan
sehingga mempengaruhi berbagai daerah lainnya. Sederhananya, beberapa contoh
permasalahan tersebut memiliki pola yang sama, yakni terlepas dari ritme kehidupan
semangat untuk menciptakan suasana persaudaraan dalam suatu kemajemukkan. Semangat
untuk hidup berdampingan sebagai saudara tergeser karena orang-orang terlalu
fokus pada perbedaan dan melihatnya sebagai masalah. Keuntungan pribadi maupun
golongan atau yang lebih sering dikenal dengan perilaku oportunistik menjadi dorongan dasar seseorang untuk
melakukan interaksi dengan orang lain.Orang-orang lupa untuk menganggap
sekitarnya sebagai saudara, namun cenderung menganggap orang lain sebagai
kompetitornya.
Yogyakarta merupakan kota yang terkenal sopan dan
ramah dengan segala adat serta kebudayaannya yang sangat kental. Kota ikonik
yang menjadi pusat pendidikan dan juga merupakan destinasi wisata yang menarik
bagi wisatawan mancanegara maupun domestik. Tentunya segala sesuatu yang ada
didalam tatanan sosial masyarakat Yogyakarta akan menjadi pusat perhatian bagi
banyak orang. Perilaku dan sikap masyarakat di Yogyakarta harus mampu memenuhi
tuntutan sosial sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang ramah dan sopan
serta paling toleran. Dengan begitu siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta akan
membawa sesuatu yang melekat dalam dirinya, yakni sikap dan perlakuan yang
diterimanya setelah kembali ke daerah asalnya. Oleh karenanya, menjadi sangat
untuk menciptakan fondasi kebhinekaan yang dapat memenuhi tuntutan sosial
tersebut. Memang terdengar sangat mustahil jika dengan menghidupi kembali
istilah sederhana “Tuna satak bathi sanak” dapat menjadi solusi dari masalah
multikultural yang mulai bermunculan di Yogyakarta. Namun, perlu dimaknai bahwa
istilah ini bukan hanya sekedar ungkapan seorang pedagang belaka, melaikan
semangat menciptakan relasi atau hubungan yang baik dalam keseharian dan juga sebagai bagian dari ritme kehidupan
struktur masyarakat Yogyakarta yang sangat kompleks dengan segala keberagamannya.
Ketika seseorang menganggap orang lain sebagai saudara, maka perbedaan
latarbelakang, budaya, ras, suku dan agama tidak akan menjadi penghalang yang
berarti dalam interaksi sosial.
Semangat persaudaraan “tuna satak, bathi sanak” ini
kiranya menjadi motor penggerak sikap dan perilaku dalam bertindak dalam
masyarakat. Seluruh lapisan struktur masyarakat di Yogyakarta harus benar-benar
memahami makna istilah ini secara komprehensif, baik orang-orang dewasa, maupun
muda dituntut mampu mencerminkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Masalah perbedaan tidak akan dilihat sebagai sebuah perbedaan jika setiap orang
saling mengikat dalam hubungan persaudaraan. Ketika setiap orang telah terikat
dalam hubungan persaudaraan, maka kebhinekaan yang sesungguhnya sedang dibangun
dari dalam diri masing-masing orang tersebut. Tidak akan ada konflik atau
perpecahan, tetapi orang akan saling mengasihi, menghargai dan menjaga satu
sama lain sebagai seorang saudara.
Sikap hidup seperti ini tentunya akan mati apabila
tidak ada yang berusaha menghidupkannya. Tiga atau lima tahun lagi semangat ini
akan benar-benar mati dan seolah-olah tidak pernah ada dalam tradisi masyarakat
Jawa. Tongkat estafet harus diberikan kepada orang-orang yang masih mampu dan
kuat untuk berlari membawanya. Semangat persaudaraan yang terkandung dalam
istilah “tuna satak, bathi sanak” harus terus hidup didalam diri orang-orang
yang secara khusus berdomisili di Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta adalah cerminan
keberagaman Indonesia, terdapat berbagai latarbelakang ras, suku kebudayaan, dan
agama yang akan selalu berinteraksi setiap harinya. Daerah lain akan melihat
bahwa Yogyakarta adalah cerminan kebhinekaan, karena tidak ada lagi orang yang
melihat perbedaan sebagai suatu masalah melainkan keunikan dan kemajemukkan
dalam ikatan persaudaraan yang berlandaskan prinsip sederhana, yakni
mementingkan persaudaraan daripada sebuah keuntungan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar