Minggu, 04 Desember 2016

PENTINGNYA KEHARMONISAN UMAT BERAGAMA



Berbagi cinta kasih kepada sesama merupakan insight terdalam yang harus dipahami dengan jelas. Konteks agama itu melingkupi berbagai aspek kehidupan dengan Yesus Kristus sebagai pusatnya. Allah telah mengaruniakan keselamatan bagi manusia dengan mengorbankan Putera Tunggal-Nya Yesus Kristus dikayu salib demi menyelamatkan umat-Nya dari dosa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai salah seorang yang telah menerima karya keselamatan itu, kita punya tanggungjawab untuk membagikan pada sesama dan mewujudnyatakannya.
Tindakan dan perilaku yang mencerminkan Kristus adalah cara hidup seseorang yang telah diselamatkan. Kasih itu murah hati dan berbagi, artinya dari kita dan untuk kita. Dengan hidup berlandaskan kasih maka akan terciptanya suatu kedamaian. Tidak ada lagi batas-batas atau petak antar umat beragama karena semua hidup berdampingan dan saling mengasihi satu sama lain.
Pada awal perkuliahan saya menuliskan Allah bagiku serta ingin menjadi garam dan terang dunia yang senantiasa membawa perubahan bagi sesame kearah yang lebih baik. Kita tidak ingin kesenjangan menguasai dunia, selalu ada anggapan si miskin dan si kaya. Miskin dan kaya adalah dua sisi dari pola yang sama, yakni hidup dengan semangat kompetisi dan selalu berusaha menyingkirkan sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Tujuan tertinggi ekonomi memang bukan melayani orang miskin, tapi jika kita mengabaikan orang miskin tandanya tatanan ekonomi tidak serius mendukung rencana Allah bagi manusia, yakni kesejahteraan umum.
Kegiatan ekonomi harusnya melayani kemuliaan Allah, penegakkan kerajaan-Nya, dan perdamaian, tentu saja hal-hal itu hanya bias diwujudkan dengan adanya cinta kasih. Akibat dari tidak adanya cinta kasih sesama manusia yang menyebut dirinya bergama, diantaranya yaitu mengambil hak orang lain demi kepentingan diri sendiri atau yang biasa disebut dengan istilah korupsi. Korupsi merupakan bukti nyata seseorang menjalankan perekonomian dengan tidak melandaskan pada rencana Allah.
Tindakan-tindakan yang diluar norma agama seperti membunuh, kerusuhan dan peperangan yang berujung pada prasangka buruk antarumat beragama sehingga menyebabkan perpecahan, tidak ada kedamaian. Ini merupakan realita yang tidak bisa dipandang sebelah mata, tetapi harus dipahami dan diilhami dengan rasionalitas.
Kedamaian bangsa akan terwujud apabila setiap orang mulai memiliki cinta kasih didalam dirinya. Dengan bertindak atas dasar cinta kasih seseorang akan mewujudnyatakan kehendak Allah yang telah mengaruniakan keselamatan. Bukan hanya toleransi yang kuat, melainkan juga solidaritas demi membangun kesejahteraan bersama. Kedamaian dunia,bangsa dan keluarga dimulai dari diri sendiri yang berdamai dengan menjadikan cinta kasih dari Kristus sebagai gaya hidup sehingga bisa membagikan berkat keselamatan serta mencerminkan kehidupan Yesus Kristus.

sumber:

Utama, Madya. 2002. Dialog antarumat beragama. Yogyakarta: Kanisius.
Jacobs, Tom. 1987. Gereja menurut Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius.
Rial. 2000. Allah Pengalaman dan Refleksi dalam tradisi Kristen. Jakarta: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen dan Celesty Hieronika.
Artikel Prisma II. 1985. Agama dan Tantangan Zaman. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial.
Heinz, Karl. 1985.Etika Kristiani Jilid IV Kewajiban Moral dalam Hidup Sosial. Flores: LEDALERO.

PERUBAHAN FUNGSI KONSUMSI HANDPHONE DAN PENYAKIT PAMER



Handphone menjadi barang yang sangat penting dalam aktivitas sehari-hari mahasiswa. Beragam layanan serta teknologi yang semakin maju pada handphone menjadikannya multi-fungsi. Mahasiswa tentu saja memaksimalkan beragam manfaat yang ada untuk menunjang kegiatan sehari-harinya.
Ibaratkan janur, handphone mempunyai dua sisi yang saling bertolakbelakang. Pertama, layanan dan kecanggihannya digunakan untuk hal-hal positif diantaranya membaca buku digital, mengelola bisnis online, dan mengakses sumber informasi diinternet. Kedua, sisi negatif gadget dimanfaatkan mengakses konten pornografi, memainkan game dan aktif pada media sosial yang menyebabkan kecanduan. Dua sisi berlawanan tersebut ada pada handphone sebagai evolusi dari kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi pada abad ini juga turut mengubah fungsi konsumsi terhadap handphone tersebut. Mahasiswa tidak lagi mengutamakan fungsi kegunaan, tetapi gengsi dan gaya hidup yang paling penting. Fungsi kegunaan dari handphone untuk telepon, pesan singkat dan penggunaan internet, sebaliknya gaya hidup dan gengsi menjadikannya obyek untuk dipamerkan didepan umum.
Membeli handphone dengan harga mahal tentu lebih baik bagi sebagian besar mahasiswa sehingga pertimbangan ekonomis diabaikan. Harga yang berkisar puluhan juta menjadi target utama dan kebutuhan dasar. Komplementer berupa aksesoris dan pulsa juga turut menjadi sangat penting demi menunjang handphone mahal sehingga ekonomis tidaklah penting bagi sekelompok mahasiswa tesebut.
Peristiwa ini dipilih dengan alasan mengajak pembaca lebih rasional mempertimbangkan nilai ekonomis suatu barang dan bijaksana sebagai konsumen. Dengan begitu, lebih efektif menentukan barang yang memang kebutuhan dan menjadi prioritas agar tidak berperilaku mubazir.
Professor Thorstein Bunde Veblen seorang ahli sosiologi ekonomi dalam bukunya “The Theory of Leissure Class” mengelompokkan orang-orang dengan perilaku seperti itu kedalam kelas orang kaya. Ia menggambarkan gaya konsumsi orang kaya yang cenderung mewah, boros dan berperilaku mubazir. Mereka mengonsumsi suatu barang tidak lagi berdasarkan fungsi instrumental atau kegunaannya, tetapi berdasarkan fungsi sosial yaitu gengsi dan gaya hidup. Kelompok orang ini selalu menampilkan pengeluaran yang menyolok untuk dipamerkan pada khalayak. Prinsip lebih mahal lebih baik yang mereka tumbuhkan serta beranggapan bahwa kemewahan merupakan kebutuhan menjadikan kelompok ini tidak mengenal makna ekonomis.
Sementara itu, kacamata penulis tidak hanya memandang ini dari sisi orang kaya, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Orang-orang dengan ekonomi menengah kebawah bahkan kebanyakan cenderung berperilaku demikian, pada konteks ini mahasiswa khususnya. Alasannya ialah setiap orang memiliki sifat alamiah yang disebut dengan “gengsi”.

Secara umum, Samsung dan Apple menjadi jenis atau merek handphone yang saat ini rata-rata dimiliki oleh mahasiswa. Kedua produsen ternama tersebut memang tengah menguasai pasar dikarenakan teknologi yang semakin berkembang serta mendukung kebutuhan konsumennya saat ini. Jika diamati lebih jauh lagi, produsen-produsen itu selalu membuat handphone dengan spesifikasi tinggi dan harga relatif mahal. Hal itu berarti bahwa sebelum menyentuh konsumen, terlebih dahulu terjadi perubahan fungsi produksi antarprodusen tersebut.
Saat ini hampir tidak ada mahasiswa yang menggunakan handphone merek lama. Faktor penyebabnya beragam, diantaranya karena teman-teman menggunakan merek terbaru dan merasa ketinggalan zaman, serta tuntutan perkembangan zaman. Faktor-faktor tersebut kemudian menjadi alasan perasaan gengsi tumbuh dan menguasai diri seorang mahasiswa. Tidak jarang mengarah pada tindakan yang kurang baik, misalnya mengatakan harus membayar berbagai administratif di universitas namun uangnya tidak pernah sampai pada fungsi itu tetapi digunakan untuk membeli handphone seri terbaru. Sungguh hal yang sangat memilukan apabila hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa dengan ekonomi keluarga menengah ke bawah.
Realita bahwa mahasiswa pada abad ini harus menghadapi dan berbaur dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi tidak bisa dihindari, khususnya pada handphone. Tujuan dari membeli atau mengonsumsinya memang telah berubah, mula-mula sesuai dengan kegunaannya lalu menjadi gaya hidup yang penuh gengsi. Fungsi kegunaan tidak lagi menjadi target utama, tetapi pandangan khalayak terhadap barang itulah yang menjadi prioritas. Kemewahan dijadikan sebagai kebutuhan dasar sehingga nilai-nilai ekonomis tidak dipertimbangkan. Asalkan bisa tampil menyolok dan dipamerkan didepan umum seorang mahasiswa menjadikan prinsip lebih mahal lebih baik sebagai pedoman dalam berkegiatan ekonomi. Hal-hal seperti itu yang kemudian disebut sebagai penyakit pamer.

Sumber:
Helbroner, Robert L. Boetaran. 1972. Tokoh-tokoh Besar Pemikir Ekonomi. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.