Handphone
menjadi barang yang sangat penting dalam aktivitas sehari-hari
mahasiswa. Beragam layanan serta teknologi yang semakin maju pada
handphone menjadikannya multi-fungsi. Mahasiswa tentu saja memaksimalkan
beragam manfaat yang ada untuk menunjang kegiatan sehari-harinya.
Ibaratkan
janur, handphone mempunyai dua sisi yang saling bertolakbelakang.
Pertama, layanan dan kecanggihannya digunakan untuk hal-hal positif
diantaranya membaca buku digital, mengelola bisnis online, dan mengakses
sumber informasi diinternet. Kedua, sisi negatif gadget dimanfaatkan
mengakses konten pornografi, memainkan game dan aktif pada media sosial
yang menyebabkan kecanduan. Dua sisi berlawanan tersebut ada pada
handphone sebagai evolusi dari kemajuan teknologi.
Kemajuan
teknologi pada abad ini juga turut mengubah fungsi konsumsi terhadap
handphone tersebut. Mahasiswa tidak lagi mengutamakan fungsi kegunaan,
tetapi gengsi dan gaya hidup yang paling penting. Fungsi kegunaan dari
handphone untuk telepon, pesan singkat dan penggunaan internet,
sebaliknya gaya hidup dan gengsi menjadikannya obyek untuk dipamerkan
didepan umum.
Membeli
handphone dengan harga mahal tentu lebih baik bagi sebagian besar
mahasiswa sehingga pertimbangan ekonomis diabaikan. Harga yang berkisar
puluhan juta menjadi target utama dan kebutuhan dasar. Komplementer
berupa aksesoris dan pulsa juga turut menjadi sangat penting demi
menunjang handphone mahal sehingga ekonomis tidaklah penting bagi
sekelompok mahasiswa tesebut.
Peristiwa
ini dipilih dengan alasan mengajak pembaca lebih rasional
mempertimbangkan nilai ekonomis suatu barang dan bijaksana sebagai
konsumen. Dengan begitu, lebih efektif menentukan barang yang memang
kebutuhan dan menjadi prioritas agar tidak berperilaku mubazir.
Professor
Thorstein Bunde Veblen seorang ahli sosiologi ekonomi dalam bukunya
“The Theory of Leissure Class” mengelompokkan orang-orang dengan
perilaku seperti itu kedalam kelas orang kaya. Ia menggambarkan gaya
konsumsi orang kaya yang cenderung mewah, boros dan berperilaku mubazir.
Mereka mengonsumsi suatu barang tidak lagi berdasarkan fungsi
instrumental atau kegunaannya, tetapi berdasarkan fungsi sosial yaitu
gengsi dan gaya hidup. Kelompok orang ini selalu menampilkan pengeluaran
yang menyolok untuk dipamerkan pada khalayak. Prinsip lebih mahal lebih
baik yang mereka tumbuhkan serta beranggapan bahwa kemewahan merupakan
kebutuhan menjadikan kelompok ini tidak mengenal makna ekonomis.
Sementara
itu, kacamata penulis tidak hanya memandang ini dari sisi orang kaya,
tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Orang-orang dengan ekonomi
menengah kebawah bahkan kebanyakan cenderung berperilaku demikian, pada
konteks ini mahasiswa khususnya. Alasannya ialah setiap orang memiliki
sifat alamiah yang disebut dengan “gengsi”.
Secara
umum, Samsung dan Apple menjadi jenis atau merek handphone yang saat
ini rata-rata dimiliki oleh mahasiswa. Kedua produsen ternama tersebut
memang tengah menguasai pasar dikarenakan teknologi yang semakin
berkembang serta mendukung kebutuhan konsumennya saat ini. Jika diamati
lebih jauh lagi, produsen-produsen itu selalu membuat handphone dengan
spesifikasi tinggi dan harga relatif mahal. Hal itu berarti bahwa
sebelum menyentuh konsumen, terlebih dahulu terjadi perubahan fungsi
produksi antarprodusen tersebut.
Saat
ini hampir tidak ada mahasiswa yang menggunakan handphone merek lama.
Faktor penyebabnya beragam, diantaranya karena teman-teman menggunakan
merek terbaru dan merasa ketinggalan zaman, serta tuntutan perkembangan
zaman. Faktor-faktor tersebut kemudian menjadi alasan perasaan gengsi
tumbuh dan menguasai diri seorang mahasiswa. Tidak jarang mengarah pada
tindakan yang kurang baik, misalnya mengatakan harus membayar berbagai
administratif di universitas namun uangnya tidak pernah sampai pada
fungsi itu tetapi digunakan untuk membeli handphone seri terbaru.
Sungguh hal yang sangat memilukan apabila hal tersebut dilakukan oleh
mahasiswa dengan ekonomi keluarga menengah ke bawah.
Realita
bahwa mahasiswa pada abad ini harus menghadapi dan berbaur dengan
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi tidak bisa dihindari,
khususnya pada handphone. Tujuan dari membeli atau mengonsumsinya memang
telah berubah, mula-mula sesuai dengan kegunaannya lalu menjadi gaya
hidup yang penuh gengsi. Fungsi kegunaan tidak lagi menjadi target
utama, tetapi pandangan khalayak terhadap barang itulah yang menjadi
prioritas. Kemewahan dijadikan sebagai kebutuhan dasar sehingga
nilai-nilai ekonomis tidak dipertimbangkan. Asalkan bisa tampil menyolok
dan dipamerkan didepan umum seorang mahasiswa menjadikan prinsip lebih
mahal lebih baik sebagai pedoman dalam berkegiatan ekonomi. Hal-hal
seperti itu yang kemudian disebut sebagai penyakit pamer.
Sumber:
Helbroner, Robert L. Boetaran. 1972. Tokoh-tokoh Besar Pemikir Ekonomi. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar